Rabu, 06 April 2016

Membangun Bangsa yang Tangguh

1. Ketangguhan dari Masa ke Masa
 
Upaya pengurangan risiko bencana dan pengembangan ketangguhan terhadap bencana sudah dikenal sejak Indonesia masih berbentuk kerajaan-kerajaan kecil pada sekitar abad ke-4 Masehi. Prasasti Tugu yang ditemukan di Desa Tugu, Tarumajaya, Bekasi, menyebutkan bahwa oada jaman Kerajaan Tarumanegara, raja pertama kerajaan itu, Rajadirajaguru Jayasingawarman memerintahkan penggalian Sungai Candrabaga (kemungkinan Kali Bekasi) untuk mengalirkan air sampai ke laut. Sementara itu, pada sekitar tahun 417 Raja Tarumanegara ketiga, Maharaja Purnawarman, memerintahkan penggalian Sungai Gomati sepanjang 6.112 tombak atau 12 km. Penggalian sungai-sungai ini merupakan upaya untuk menghindari bencana alam banjir dan kekeringan yang sering terjadi pada masa itu serta untuk menjaga ketangguhan ekonomi serta penghidupan masyarakat.

Dari Jawa Timur pada era Kerajaan Medhang yang merupakan kelanjutan Kerajaan Mataram Kuno. Di Jawa Timur ada cerita tentang pembangunan bendungan pada tiga tempat, yang menurut ahli sejarah kini berada di sekitar daerah Tulungagung. Sistem air untuk irigasi dan pencegahan banjir ini dibangun atas perintah Raja Mpu Sindok dan tercatat dalam Prasasti Bakalan 934 M. Sejarah menunjukkan adanya beberapa bendungan dan sistem rekayasa air di kawasan lembah Sungai Brantas yang dibangun untuk mengatasi ancaman banjir maupun luapan material gunung api yang ada di sekitar aliran Sungai Brantas. Raja Airlangga dari Kerajaan Kahuripan membangun Bendungan Waringin Sapta untuk mengatasi banjir Sungai Brantas, seperti tertulis dalam Prasasti Kamalagyan 1037 M. Dari rekaman-rekaman sejarah ini tampak bahwa sejak jaman kerajaan Indonesia sudah mengenal sistem pengelolaan air, yang menjadi pusat perhatian dari penguasa, karena penduduk yang tinggal di Pulau Jawa adalah masyarakat agraris.

Selanjutnya pada jaman penjajahan Belanda pun ada beberapa catatan tentang upaya penaggulangan bencana. Pemerintah VOC di Batavia di bawah Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen (1617-1629), berusaha menjinakkan Kali Ciliwung dengan membangun sodetan-sodetan di banyak sisi badan sungai yang kemudian dibuat menjadi kanal-kanal seperti di Belanda untuk menguangi beban debit air Ciliwung. Sayang upaya J.P. Coen ini tidak terlalu berhasil dan banjir tetap terjadi karena sejumlah besar kanal mengalami pendangkalan akibat endapan material yang terbawa air dari hulu. pada abad ke 18 sampai dengan awal abad ke 20, mitigasi fisik dan penelitian penanganan banjir menjadi salah satu program kerja terpenting pemerintah kolonial Belanda . Tercatat tahun 1910 pemerintah Batavia menganggarkan 25 ribu gulden untuk menanggulangi banjir dan mengadakan penelitian tentang akibat peningkatan penebangan hutan untuk perkebunan di daerah Bogor dan sekitarnya.

Mulai tahun 1913 penanganan banjir dipimpin oleh Prof. Herman Van Breen, seorang ahli hidrologi, yang membuat perencanaan menyeluruh sistem pengairan di Batavia dengan mengendalikan aliran air dari hulu dan membatasi volume air yang masuk kota. Saluran kolektor Banjir Kanal Barat, yang membelah Jakarta mulai dari Pintu Air Manggarai, sampai ke Muara Angke, mulai dibangun tahun 1922. Upaya Van Breen dilanjutkan pemerintah pemerintah Indonesia mulai tahun 1965, dengan membangun beberapa waduk, polder dan sodetan sungai. Program yang sama diteruskan sampai pemerintahan Gubernur Fauzi Bowo yang membangun Banjir Kanal Timur dan era Gubernur Joko Widodo yang melanjutkan pemersihan sungai-sungai utama, waduk Pluit, Waduk Ria-Rio dan situ-situ di Jakarta.

disamping sibuk menangani banjir, pemerintah kolonial Belanda juga menangani ancaman-ancaman geologis seperti letusan gunungapi dengan membentuk Jawatan Pertambangan, Dienst van het Mijnwezen  pada tahun 1850. ini berkaitan erat dengan sejarah penyelidikan geologi dan tambang di wilayah nusantara yang dimulai sejak pertengahan abad ke 17 oleh para ahli Eropa yang mencari bahan tambang sebagai bahan dasar industri. Lembaga ini selanjutnya berganti nama menjadi Dienst van den Mijnbouw pada tahun 1922, dan bertugas melakukan penyelidikan geologi serta sumberdaya mineral. Inilah yang menjadi cikal bakal lembaga-lembaga yang kini menangani ancaman-ancaman geologis di Indonesia. semua upaya penanggulangan bencana dari mulai jaman kerajaan sampai pemerintah sekarang ini pada dasarnya berkontribusi dalam melindungi penghidupan dan meningkatkan ketangguhan masyarakat dalam menghadapi bencana.

Selain mitigasi fisik dalam skala besar yang diupayakan oleh penguasa kerajaan atau birokrasi kolonial Belanda sampai pemerintah jaman republik sekarang ini, banyak warga masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana di seluruh nusantara mengembangkan berbagai bentuk kearifan lokal dalam menghadapi bencana. Tsunami Aceh pada tahun 2004 mengangkat masyarakat di Pulau Simeulue karena dapat memanfaatkan pengetahuan tentang Tsunami yang diturukan secara lisan dari nenek moyang untuk menyelamatkan diri. Simeulue adalah bagian dari Provinsi Aceh dengan jumlah korban hanya 7 korban jiwadari keseluruhan penduduk sekitar 78.000, dimana 95% hidup di daerah pantai.

Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat di Pulau Simeulue berasal dari "pengalaman nenek moyang'' pada tahun 1907, ketika terjadi gempa besar yang menimbulkan tsunami hingga menewaskan banyak penduduk pulau. Kejadian tersebut diterjemahkan menjadi dongeng dan cerita-cerita, monumen peringatan dan pengingat lainnya yang diteruskan kepada anak cucu mereka dalam berbagai bentuk. Masyarakat Simeulue menggunakan kata smong untuk menyebut peristiwa itu, yang artinya sama dengan tsunami . Menurut pemahaman penduduk smong adalah rentetan peristiwa yang diawali oleh gempa besar , lalu diikuti surutnya air laut, kemudian gelombang raksasa dan banjir . Cerita smong yang diturunkan selama berpuluh-puluh atau bahkan beratus-ratus tahun dari mulut ke mulut ini tanpa sadar telah membangun ketangguhan masyarakat Pulau Simeulue. 

Kearifan lokal yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, terutama yang tinggal di daerah rawan bencana seperti masyarakat di Pulau Nias, Sumatera Utara yang sering mengalami gempa bumi, memiliki rumah tradisional terbuat dari kayu, yang unsur-unsur strukturnya dikaitkan satu sama lain dan bukan dipaku. Teknik sambungan ini membuat bangunan menjadi fleksibel. Rumah ditopang tonggak-tonggak vertikal yang bertumpu pada balok-balok batu dan sejumlah balok diagonal. Balok diagonal diletakkan diantara tonggak vertikal dengan arah memanjang dan melintang bangunan dan saling mengikat. Teknik pengikatan rumah seperti ini memungkinkan bangunan bertahan terhadap guncangan gempa yang kuat. Rumah-rumah joglo kayu tradisional di Yogyakarta dan Jawa Tengah juga telah terbukti lebih tahan dalam menghadapi gempa bumi.

                                                         Rumah Tradisional Nias (Omo Sebua)

                                                 Rumah Tradisional Jawa Tengah (Joglo)                                                  



(diambil dari buku "PENGALAMAN INDONESIA DALAM MENGEMBANGKAN MASYARAKAT TANGGUH" atas dukungan dari Australian Aid dan BNPB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar